ASESMEN DIAGNOSTIK
Asesmen Diagnostik Non-Kognitif: Mengungkap Karakter Dan Kesiapan Belajar Siswa
10 - Juli - 2025 26 Share :Asesmen diagnostik non kognitif kurikulum merdeka untuk mengungkap karakter siswa, kesiapan belajar, dan asesmen awal pembelajaran.

Dalam Kurikulum Merdeka, guru nggak cuma fokus pada nilai matematika atau IPA saja, lho. Tapi juga memperhatikan karakter, semangat, dan kesiapan belajar setiap siswa. Nah, salah satu cara untuk memahami itu semua adalah melalui asesmen diagnostik non-kognitif. Bukan soal ujian hitungan atau hafalan, tapi lebih ke "siapa sih anak ini sebenarnya?" Yuk, kita kupas tuntas—tenang aja, nggak pakai rumus-rumus ribet kok!
Apa Itu Asesmen Diagnostik Non-Kognitif?
Pernah nggak sih, Bapak/Ibu Guru, merasa bingung kenapa ada siswa yang pintar banget tapi ogah-ogahan belajar, atau malah anak yang diam saja di kelas ternyata jago banget gambar? Nah, hal-hal semacam itu nggak akan kelihatan kalau kita cuma fokus sama nilai ulangan. Di sinilah asesmen diagnostik non-kognitif berperan penting. Ini adalah salah satu langkah awal dalam Kurikulum Merdeka yang membantu guru mengenali muridnya secara lebih dalam—bukan cuma otaknya, tapi juga hatinya.
Asesmen ini bisa dibilang kayak sesi "kenalan lebih dekat" antara guru dan siswa. Kita jadi tahu bagaimana suasana hati mereka saat datang ke sekolah, apa yang mereka sukai, apakah mereka sedang semangat atau malah butuh dukungan. Misalnya, anak yang kelihatan cuek bisa jadi sedang cemas karena ada masalah di rumah. Atau anak yang terlihat aktif ternyata justru merasa kesepian.
Sebagai guru SD, kita tahu banget bahwa dunia anak-anak itu penuh warna. Mereka bisa tertawa karena hal kecil, tapi juga bisa murung seharian hanya karena pensilnya patah. Maka dari itu, pendekatan yang hanya berfokus pada "bisa atau tidaknya menjawab soal" jelas nggak cukup.
Dalam Kurikulum Merdeka, asesmen non-kognitif ini disarankan dilakukan di awal tahun ajaran atau saat pergantian semester. Tujuannya bukan untuk menilai, tapi untuk membaca. Kita ingin tahu kondisi sosial-emosional anak, minat dan motivasi belajarnya, hingga kebiasaan-kebiasaan mereka yang mungkin selama ini tersembunyi.
Tim pengembang kurikulum dari Kemendikbudristek sendiri menekankan pentingnya pendekatan holistik—yang berarti anak dipandang sebagai manusia utuh, bukan sekadar peserta didik. Dan sebagai guru, kita punya pengalaman langsung di lapangan tentang bagaimana karakter dan emosi anak bisa sangat memengaruhi proses belajar mereka. Jadi, bisa dibilang, asesmen ini adalah senjata rahasia guru yang bijak!
Asesmen diagnostik non-kognitif bukan soal formalitas atau sekadar administrasi. Ini adalah bentuk empati dan perhatian kita sebagai pendidik. Kita ingin setiap anak merasa dilihat, didengar, dan dimengerti. Dan percaya deh, ketika anak merasa nyaman dan dihargai, belajar pun jadi jauh lebih menyenangkan dan bermakna.
Tujuan Asesmen Non-Kognitif dalam Kurikulum Merdeka
Seperti pepatah lama: "Tak kenal maka tak sayang, tak asesmen maka salah langkah." Sebagai guru, kita pasti pengen proses belajar berjalan lancar, menyenangkan, dan sesuai dengan kebutuhan anak. Tapi kenyataannya, setiap siswa datang ke kelas dengan latar belakang, mood, dan kondisi yang berbeda-beda. Maka dari itu, sebelum kita bicara soal materi pelajaran, penting banget untuk “kenalan” dulu secara lebih mendalam lewat asesmen non-kognitif.
Asesmen ini bukan hanya urusan formalitas yang harus dicentang di RPP. Ini adalah fondasi utama untuk menciptakan pembelajaran yang berpihak pada murid. Dari pengalaman kami sebagai pendidik di sekolah dasar, seringkali perubahan pendekatan sekecil apapun—seperti memindahkan posisi duduk siswa atau mengajak ngobrol ringan—ternyata punya dampak besar bagi suasana belajar.
Nah, asesmen non-kognitif inilah yang memberi kita peta awal. Kita bisa tahu siapa yang butuh disemangati lebih, siapa yang perlu diajak kerja kelompok, siapa yang lebih nyaman belajar sambil praktik, dan siapa yang baru semangat kalau diajak bermain peran. Berikut beberapa tujuan penting dari asesmen ini:
- Mengenali karakter dan kepribadian siswa secara utuh: Apakah dia pemalu, aktif, suka membantu, atau suka menyendiri? Karakter ini bisa membantu guru menyusun pendekatan pengajaran yang tepat.
- Mengetahui kesiapan mental dan emosional siswa dalam belajar: Ada anak yang rajin tapi sedang punya masalah keluarga. Atau anak yang pintar tapi susah fokus karena tidak tidur cukup. Semua ini berpengaruh, lho!
- Memetakan kebutuhan dukungan khusus atau layanan tambahan: Dengan asesmen awal ini, kita bisa lebih cepat memberikan bantuan kepada siswa berkebutuhan khusus atau yang membutuhkan perhatian lebih.
- Menentukan pendekatan pembelajaran yang tepat dan menyenangkan: Kurikulum Merdeka mendorong diferensiasi pembelajaran. Nah, data dari asesmen non-kognitif ini jadi bahan bakarnya!
- Membangun hubungan guru–murid yang lebih dekat dan positif: Ketika guru tahu lebih banyak tentang muridnya, hubungan yang terbangun pun lebih hangat, penuh empati, dan saling percaya.
Dalam praktiknya, kami sering menemukan bahwa anak-anak akan jauh lebih terbuka dan semangat belajar saat mereka merasa “dimengerti”. Jadi, yuk mulai dari yang paling dasar: pahami dulu anak-anak kita dengan pendekatan yang lembut, humanis, dan penuh perhatian. Karena sejatinya, mengajar itu bukan cuma soal menyampaikan materi—tapi soal membangun hubungan.
Contoh Instrumen Asesmen Karakter Siswa
Siapa bilang asesmen harus pakai alat canggih atau sistem digital yang ribet? Di dunia nyata, apalagi di kelas SD, kadang alat paling ampuh justru adalah senyum tulus guru dan telinga yang mau mendengar. Yup, instrumen asesmen non-kognitif bisa sederhana banget, tapi tetap mengena. Yang penting, kita tahu apa yang kita cari dan bagaimana menggalinya dari anak-anak secara alami dan menyenangkan.
Nah, berdasarkan pengalaman kami bersama guru-guru di berbagai sekolah, inilah beberapa instrumen yang sering dipakai dan terbukti efektif untuk mengenali karakter serta kesiapan siswa:
- Angket minat dan hobi: Kegiatan ini bisa dibuat seperti kuesioner lucu. Cukup tanya, “Kamu lebih suka menggambar, bermain sepak bola, membaca, atau bermain peran?” Jawaban mereka bisa memberi kita petunjuk awal untuk menyusun aktivitas belajar yang lebih sesuai minat.
- Skala emosi: Pakai gambar wajah lucu—senyum, sedih, marah, bingung—dan minta anak memilih mana yang mewakili perasaannya hari ini. Ini bisa jadi ice breaker juga. Guru bisa bilang, “Kalau Ibu hari ini, wajahnya kayak yang mau ngopi tapi lupa bawa termos.”
- Kuesioner gaya belajar: Siswa diajak mengenali cara belajar favorit mereka. Misalnya, “Lebih suka mendengarkan cerita atau melihat gambar?” Dengan begitu, kita tahu siapa yang cocok diajak membuat poster, dan siapa yang lebih suka mendengar penjelasan lewat lagu atau cerita.
- Wawancara ringan: Nggak perlu pakai kertas atau alat perekam. Cukup ngobrol santai sambil istirahat atau setelah pelajaran. Guru bisa tanya, “Apa yang kamu paling suka dari sekolah?” atau “Kalau kamu jadi guru, pelajaran apa yang kamu ajarkan?”
- Observasi langsung: Ini salah satu teknik paling kuat. Cermati bagaimana anak bermain, berinteraksi, dan merespons tugas. Apakah dia pemimpin saat diskusi? Atau lebih senang bekerja diam-diam di sudut kelas? Observasi ini bisa dilakukan sambil jalan—sambil keliling kelas, sambil ngopi... eh, maksudnya sambil ngisi absen.
Semua instrumen ini bukan cuma buat mengisi laporan atau dokumen. Yang lebih penting adalah membangun jembatan antara guru dan murid. Kalau kita tahu apa yang mereka rasakan, suka, dan butuhkan, kita bisa jadi lebih siap menemani mereka belajar. Dan yang paling keren? Murid juga akan merasa lebih dihargai dan dimengerti.
Jadi, asesmen non-kognitif itu seperti ngobrol dari hati ke hati—nggak bikin tegang, justru bisa mempererat hubungan. Bahkan bisa jadi momen paling hangat di awal tahun ajaran. Guru senyum, murid semangat. Win-win!
Manfaat dan Penerapan di Kelas
Bayangkan kalau guru bisa "membaca" murid, bukan dengan sulap atau ramalan bintang, tapi lewat pengamatan dan pendekatan yang tepat. Dengan asesmen non-kognitif, kita jadi tahu kenapa si A nggak bisa diam di bangku, si B suka menyendiri, dan si C selalu pengen tampil di depan kelas. Bukan karena mereka nakal atau aneh—mereka cuma punya cara belajar dan kebutuhan yang berbeda. Dan tugas kita sebagai guru? Ya, menyesuaikan pendekatannya.
Dari pengalaman kami di lapangan, ketika guru mengenal murid lebih dalam lewat asesmen ini, suasana kelas jadi lebih hangat dan efektif. Kita bisa berhenti mengira-ngira dan mulai bertindak berdasarkan data dan empati. Anak-anak pun merasa lebih nyaman karena pendekatannya terasa "mereka banget".
Nah, penerapannya di kelas bisa sangat fleksibel dan menyenangkan. Contohnya:
- Guru bisa menyusun kelompok belajar berdasarkan gaya belajar siswa: Anak visual digabung dengan anak kinestetik dan auditori, supaya saling melengkapi. Jadi, mereka belajar bareng dengan cara yang lebih hidup, bukan hanya duduk dan mencatat terus-terusan.
- Siswa yang belum siap belajar bisa mendapat pendekatan lebih lembut dan bertahap: Misalnya, anak yang baru pindahan atau punya masalah di rumah bisa diberi waktu adaptasi dulu sebelum "ditembak" tugas.
- Karakter siswa seperti empati dan kerjasama bisa dikembangkan lebih baik: Karena guru tahu siapa anak yang suka membantu, siapa yang butuh dukungan, siapa yang bisa jadi penengah dalam kelompok. Semua bisa diarahkan untuk membangun suasana belajar yang kolaboratif.
Satu hal yang sering terlupa: setiap anak adalah dunia yang berbeda. Ada yang ceria seperti matahari pagi, ada yang tenang seperti danau, ada juga yang penuh kejutan seperti hujan deras tiba-tiba. Maka, kita nggak bisa pakai satu resep untuk semua. Asesmen non-kognitif membantu guru memilih “bumbu” yang pas agar rasa belajar di kelas jadi lebih enak untuk semua.
Intinya, asesmen ini memberi kita semacam peta jalan. Kita bisa lebih yakin langkah mana yang harus diambil, ke mana arah pembelajaran kita, dan bagaimana membawa setiap anak mencapai potensi terbaiknya. Dan percayalah, ketika guru memulai dari empati dan pemahaman, kelas akan terasa seperti rumah kedua bagi semua murid.
Penutup
Nah, sekarang udah makin paham, kan, kenapa asesmen diagnostik non kognitif dalam Kurikulum Merdeka itu penting banget? Ini bukan sekadar checklist administrasi atau lembar isian yang dilupakan setelah rapat MGMP. Asesmen ini adalah langkah awal buat mengenali siapa murid kita sebenarnya—bukan cuma di atas kertas, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari mereka di kelas.
Sebagai guru, kita nggak cuma ngajar materi, tapi juga mendampingi anak-anak tumbuh. Dari pengalaman kami mendampingi guru-guru di berbagai sekolah, asesmen non-kognitif jadi salah satu kunci membangun pembelajaran yang berpihak pada murid. Ketika kita tahu anak mana yang sedang semangat, siapa yang butuh dukungan lebih, dan bagaimana mereka nyaman belajar, kita bisa mengambil keputusan yang lebih bijak—dan lebih manusiawi.
Ingat, pembelajaran yang hebat itu bukan cuma tentang angka-angka di raport, tapi juga tentang rasa nyaman, percaya diri, dan semangat yang tumbuh dari hati. Kadang, satu sesi tanya jawab ringan atau observasi saat bermain bisa membuka wawasan besar tentang kebutuhan seorang siswa. Dan di situlah peran guru benar-benar terasa.
Jadi, yuk mulai dari langkah kecil yang berdampak besar: kenali murid kita lebih dalam, dengan empati dan ketulusan. Karena ketika guru mengenal siswanya, maka belajar bukan lagi beban—tapi perjalanan yang penuh makna, untuk mereka dan untuk kita.
Kalau artikel ini berguna buat kamu, jangan ragu untuk bagikan ke rekan guru lainnya. Kita semua sedang belajar jadi lebih baik setiap harinya. Kamu juga bisa unduh template instrumen asesmen non-kognitif langsung di website ini—praktis dan bisa langsung dipakai di kelas.
Terus semangat jadi guru hebat, ya! Karena guru yang mengenal muridnya dengan hati akan selalu menemukan cara untuk membuat kelas jadi tempat yang menyenangkan. Salam merdeka belajar!
File Lampiran : Asesmen Diagnostik Non-Kognitif: Mengungkap Karakter dan Kesiapan Belajar Siswa

Aristo Bharata
Founder tamanpustaka.com & guru di UPTD SPF SDN Sekarputih 1 Kecamatan Tegalampel Bondowoso