ASESMEN DIAGNOSTIK
Asesmen Minat Dan Bakat Siswa: Kunci Merancang Pembelajaran Diferensiasi
10 - Juli - 2025 64 Share :Pelajari asesmen minat dan bakat siswa, contoh asesmen non kognitif, dan tujuan asesmen karakter siswa dalam Kurikulum Merdeka.

Di kelas, setiap siswa adalah dunia yang berbeda. Ada yang suka menggambar, ada yang jago berhitung, ada juga yang hobinya nanya terus—guru pasti paham, kan? Sebagai guru yang setiap hari mendampingi mereka, kita tentu menyadari bahwa pendekatan yang sama belum tentu cocok untuk semua anak.
Pengalaman kami dalam mendampingi proses belajar di sekolah dasar menunjukkan bahwa anak-anak akan berkembang lebih optimal saat mereka dikenali dan dihargai keunikannya. Inilah mengapa asesmen minat dan bakat siswa menjadi langkah awal yang sangat penting. Dengan memahami karakter dan potensi mereka sejak dini, guru bisa lebih mudah merancang pembelajaran berdiferensiasi—pendekatan yang kini ditekankan dalam Kurikulum Merdeka.
Artikel ini disusun berdasarkan praktik baik dari berbagai sekolah dasar, wawasan dari pendidik profesional, serta pedoman resmi dari Kemendikbudristek terkait asesmen non-kognitif. Kami menghadirkan panduan ini agar guru-guru di seluruh Indonesia bisa menjalankan asesmen secara lebih percaya diri, berbasis bukti, dan penuh empati.
Yuk, kita gali bersama bagaimana mengenali bakat tersembunyi dan minat istimewa setiap anak melalui asesmen yang ramah, sederhana, tapi berdampak besar!
Apa Itu Asesmen Minat dan Bakat?
Pernah nggak, Bu/Pak Guru, lihat siswa yang kelihatan “biasa-biasa aja” saat pelajaran, tapi begitu diajak bikin proyek, eh… dia malah bersinar kayak bintang lima? Nah, di situlah peran asesmen minat dan bakat siswa mulai terasa penting. Ini bukan sekadar tanya, “Kamu suka pelajaran apa?”, terus ditulis di buku catatan. Tapi lebih dalam—kita mencoba memahami siapa mereka sebenarnya: apa yang mereka sukai, bakat tersembunyi yang belum muncul, dan bagaimana mereka paling nyaman belajar.
Kami sudah melihat sendiri di berbagai sekolah dasar, termasuk di pelosok dan kota besar, betapa asesmen ini bisa membuka jalan buat anak-anak yang sebelumnya “terlihat diam-diam saja” di kelas. Seorang guru di SDN daerah Jember bahkan pernah cerita, setelah melakukan asesmen ini, ia baru sadar kalau siswa yang tampak malas belajar ternyata punya minat besar di bidang seni rupa. Tinggal diarahkan sedikit, hasil gambarnya jadi luar biasa!
Dalam kerangka Kurikulum Merdeka, asesmen ini termasuk asesmen non kognitif. Artinya, kita nggak cuma fokus pada angka atau nilai akademik semata, tapi juga memperhatikan karakter, minat, gaya belajar, dan kondisi sosial-emosional siswa. Cocok banget, kan, buat anak-anak SD yang lagi giat-giatnya mengenal diri sendiri.
Ini juga bagian dari upaya menciptakan kelas yang ramah dan menghargai keberagaman. Bayangkan kalau semua anak diajar dengan cara yang sama, padahal cara belajarnya beda-beda—kayak maksa semua orang makan dengan tangan kiri, padahal ada yang kidal dan ada yang nggak.
Jadi, asesmen ini bukan soal formalitas, tapi soal empati. Kita belajar mengenal mereka, bukan untuk menilai siapa yang “paling hebat”, tapi supaya bisa membimbing mereka dengan cara yang paling sesuai.
Tujuan dan Manfaat Asesmen Non-Kognitif
Nah, mungkin sebagian dari kita bertanya-tanya, “Ngapain sih ribet-ribet pakai asesmen non-kognitif segala?” Tenang, ini bukan soal menambah beban guru—justru sebaliknya, asesmen ini bisa bikin proses mengajar jadi lebih ringan dan menyenangkan. Serius!
Dalam praktik di beberapa sekolah dasar yang kami dampingi, asesmen non-kognitif terbukti membantu guru mengenali siswa lebih utuh—bukan cuma dari sisi nilai matematika atau IPA, tapi juga dari sisi hati dan keunikan tiap anak. Bahkan ada guru kelas 3 SD di Malang yang bilang, “Baru tahu ternyata anak saya yang suka bengong di kelas tuh hobi banget main drama di rumah!” Nah lho, ternyata calon aktor!
Jadi, apa sebenarnya tujuan dari asesmen ini? Yuk, kita kupas satu per satu:
- Mengetahui minat pribadi siswa
Supaya kegiatan belajar terasa lebih nyambung dan seru. Anak yang suka musik, bisa belajar matematika pakai irama. Kenapa enggak? - Mengidentifikasi bakat siswa
Ini dasar penting untuk membimbing mereka berkembang ke arah yang tepat. Siapa tahu ada calon ilmuwan, seniman, atau atlet di kelas kita! - Menyesuaikan gaya belajar
Karena ada anak yang belajar lewat gambar, ada yang lewat cerita, bahkan ada yang butuh banyak gerak dulu baru bisa fokus. Guru bukan dukun, jadi butuh data juga. - Membangun relasi yang lebih dekat
Saat guru memahami siswa secara personal, kepercayaan akan tumbuh. Ini kunci utama kelas yang aman dan nyaman secara emosional. - Mendukung kesehatan sosial-emosional siswa
Karena anak juga manusia, mereka punya perasaan, masalah, dan kebutuhan emosional yang perlu ditangkap sejak dini.
Dari pengalaman kami mendampingi pelatihan guru, banyak yang bilang, setelah asesmen ini dilakukan, mereka jadi tahu “tombol semangat” setiap anak. Hasilnya? Suasana kelas lebih hidup, anak-anak lebih fokus, dan guru nggak harus jadi “pemadam kebakaran” tiap hari.
Jadi, kalau kamu ingin mengajar dengan lebih rileks tapi tetap berdampak, asesmen non-kognitif ini bisa jadi senjata rahasia yang kamu cari. Nggak ribet, tapi hasilnya bikin hati hangat.
Contoh dan Instrumen Asesmen Karakter Siswa
Untuk melakukan asesmen minat, bakat, dan karakter siswa, guru nggak perlu jadi psikolog profesional atau punya alat canggih seperti laboratorium. Yang dibutuhkan justru hal-hal yang sudah guru miliki: pengamatan tajam, rasa ingin tahu, empati, dan tentu saja: secangkir kopi hangat biar tetap waras saat koreksi PR.
Berdasarkan pengalaman kami bekerja sama dengan guru-guru dari berbagai latar belakang—baik di sekolah kota besar maupun pelosok desa—ada banyak cara sederhana dan menyenangkan untuk melakukan asesmen non-kognitif ini. Dan semuanya bisa dilakukan di kelas tanpa harus menambah beban administrasi yang bikin pusing.
Berikut beberapa instrumen yang terbukti efektif dan cocok digunakan di jenjang sekolah dasar:
- Kuesioner Minat
Ini bisa berupa daftar pertanyaan ringan seperti “Apa pelajaran favoritmu?”, “Kalau punya waktu bebas, kamu lebih suka menggambar atau bermain bola?”, atau “Kalau sudah besar, kamu ingin jadi apa?”. Jawaban mereka bisa membuka petunjuk luar biasa tentang minat tersembunyi. - Observasi Langsung
Sering kali guru sudah bisa menebak karakter anak dari cara mereka bersikap di kelas. Anak yang antusias saat praktik, suka bekerja sama, atau malah terlihat menyendiri, semuanya bisa jadi bahan refleksi untuk memahami kebutuhan sosial-emosional mereka. - Jurnal Harian Siswa
Ajak anak menulis (atau menggambar) tentang perasaannya hari ini, aktivitas yang mereka sukai, atau mimpi mereka. Dari situ, guru bisa melihat kecenderungan emosi, minat, dan bahkan nilai-nilai yang mereka pegang. - Wawancara Santai
Duduk berdua dengan siswa, ngobrol sambil ngemil biskuit atau minum air putih—suasana rileks justru bikin anak lebih terbuka. Percakapan sederhana seperti “Kamu paling suka bagian mana dari pelajaran hari ini?” bisa jadi bahan asesmen yang luar biasa. - Angket Teman Sebaya
Kadang, teman tahu lebih banyak dari guru. Dengan format yang ramah dan positif, siswa bisa saling memberi masukan tentang kelebihan temannya. Ini juga bisa memperkuat nilai-nilai seperti saling menghargai dan empati.
Dari pengalaman kami melakukan pelatihan di berbagai sekolah, anak-anak justru lebih jujur saat diminta menggambar daripada menulis panjang. Misalnya, ada siswa yang menggambar dirinya jadi koki lengkap dengan dapur dan topi tinggi—itu bukan iseng, tapi sinyal kuat minat mereka!
Intinya, jangan takut bereksperimen. Tidak ada “satu format sakti” untuk asesmen karakter. Yang penting adalah niat tulus guru untuk mengenal siswa lebih dalam, bukan sekadar menilai di atas kertas.
Penerapan Asesmen dalam Kurikulum Merdeka
Kalau Kurikulum Merdeka itu diibaratkan masakan, maka asesmen adalah bumbunya—tanpa itu, pembelajaran bisa hambar dan nggak terasa pas di lidah anak-anak. Salah satu bumbu utama dalam Kurikulum Merdeka adalah asesmen diagnostik awal, yang terdiri dari asesmen kognitif dan non-kognitif. Nah, asesmen minat dan bakat masuk di bagian non-kognitif ini, dan perannya nggak bisa dianggap sepele.
Dalam pelatihan Kurikulum Merdeka yang pernah kami fasilitasi di berbagai daerah, guru-guru antusias saat membahas asesmen ini. Banyak yang merasa, “Wah, ini nih yang selama ini kita butuhkan!” Karena lewat asesmen awal, guru jadi punya peta jalan—bukan lagi menebak-nebak atau pakai metode ‘asal cocok’.
Bayangkan kamu mau ajak siswa mendaki gunung. Masa iya semua dikasih jalur curam padahal ada yang belum pernah naik bukit? Dengan data dari asesmen, guru bisa bikin rute yang tepat: siapa yang butuh pendampingan, siapa yang bisa jadi pemimpin kelompok, dan siapa yang bisa belajar sambil berlari.
Ini yang disebut pembelajaran berdiferensiasi. Jadi bukan semua siswa dipukul rata, tapi setiap anak mendapat pendekatan yang sesuai gaya belajarnya. Misalnya:
- Siswa yang kinestetik (suka gerak) bisa diberi proyek membuat vlog pembelajaran.
- Siswa yang visual bisa diminta membuat poster infografis atau mind map.
- Yang suka membaca bisa diminta menulis jurnal atau resensi buku.
- Yang suka kerja kelompok bisa ambil peran jadi fasilitator diskusi.
Menariknya, guru-guru yang sudah menerapkan ini bilang suasana kelas mereka jauh lebih seru dan produktif. Anak-anak lebih terlibat, lebih semangat, dan lebih merasa dihargai. Dan yang paling penting, guru nggak lagi harus capek mengulang materi ke anak yang belum paham—karena semua sudah tertangani sejak awal.
Jadi, jangan anggap diferensiasi itu rumit. Justru dengan pendekatan ini, beban guru bisa jadi lebih ringan. Anak bahagia, guru juga lega. Win-win banget, kan?
Penutup: Yuk Mulai Asesmen Awal Hari Ini!
Menggali minat dan bakat siswa memang nggak bisa instan—nggak kayak mie rebus yang tinggal seduh, 3 menit jadi. Tapi hasilnya? Wah, luar biasa banget! Guru jadi lebih mudah membimbing karena tahu “peta hati” siswanya, siswa pun jadi lebih percaya diri karena merasa dihargai dan dimengerti. Kelas jadi lebih seru, dan belajar nggak terasa kayak beban (kecuali kalau pas ulangan Matematika, ya).
Kami sudah melihat banyak guru SD dari berbagai daerah mencoba asesmen non-kognitif ini—dari sekolah di pinggiran desa sampai yang di tengah kota. Hasilnya selalu sama: pembelajaran terasa lebih hidup dan personal. Murid yang biasanya diam bisa tiba-tiba semangat kalau diajak diskusi tentang topik yang ia sukai. Anak yang awalnya minder jadi lebih terbuka saat tahu gurunya memperhatikan kekuatannya.
Nah, kamu juga bisa memulainya. Nggak perlu rumit, cukup mulai dari hal kecil—ajak ngobrol siswa, buat angket sederhana, atau minta mereka menggambar impian mereka. Intinya, jadilah guru yang penasaran dan penuh empati. Asesmen non-kognitif bukan soal menilai, tapi soal mengenali dan memahami.
Kalau kamu guru, ini saatnya jadi detektif potensi—yang teliti membaca sinyal, sabar mendengarkan, dan kreatif menemukan cara belajar terbaik untuk setiap anak. Kalau kamu siswa yang sedang baca ini, bersiaplah: guru kamu akan mulai mengenalmu lebih dalam, bukan cuma dari angka di rapor!
Suka dengan panduan ini? Yuk, bagikan artikel ini ke rekan guru di grup WhatsApp, komunitas MGMP, atau media sosial. Atau langsung aja download panduan asesmen minat dan bakat gratis yang kami siapkan—praktis, bisa langsung dipakai di kelas, dan pastinya bikin pembelajaran makin bermakna.
Karena setiap anak berhak dikenal, dan setiap guru bisa jadi jembatan menuju masa depan yang lebih cerah.
File Lampiran : Asesmen Minat dan Bakat Siswa: Kunci Merancang Pembelajaran Diferensiasi

Aristo Bharata
Founder tamanpustaka.com & guru di UPTD SPF SDN Sekarputih 1 Kecamatan Tegalampel Bondowoso