BERITA PENDIDIKAN
Krisis Pendidikan Di Asia: Tantangan & Solusi Di Indonesia, India, Dan China
10 - Februari - 2025 556 Share :Ketimpangan pendidikan di Asia masih tinggi. Indonesia, India, dan China menghadapi tantangan besar dalam reformasi pendidikan untuk masa depan yang lebih baik.

Pendidikan di Persimpangan Jalan
Di tengah pertumbuhan ekonomi yang pesat, sistem pendidikan di Asia masih menghadapi tantangan besar yang berpotensi menghambat kemajuan jangka panjang. Kesenjangan kualitas pengajaran, rendahnya tingkat literasi, serta ketimpangan akses pendidikan di berbagai wilayah menjadi ancaman nyata bagi generasi mendatang. Meski banyak negara di Asia mengalami peningkatan ekonomi yang signifikan, tanpa perbaikan sistem pendidikan yang merata, pertumbuhan ini dapat menjadi tidak berkelanjutan.
Sebagaimana disoroti dalam pernyataan bahwa "Negara-negara dengan populasi terbesar di Asia siap memimpin pertumbuhan ekonomi global, tetapi mereka harus mengatasi krisis pembelajaran terlebih dahulu." tantangan pendidikan ini bukan sekadar isu domestik, tetapi juga berkaitan erat dengan daya saing global. Negara-negara seperti India, Tiongkok, dan Indonesia memiliki populasi besar yang dapat menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi dunia. Namun, jika kualitas pendidikan tidak ditingkatkan, maka potensi sumber daya manusia di negara-negara ini tidak akan dapat dimanfaatkan secara optimal. Krisis pembelajaran yang berkelanjutan dapat menyebabkan produktivitas tenaga kerja yang rendah, inovasi yang terhambat, dan kesenjangan sosial yang semakin melebar.
Selain itu, ketimpangan akses pendidikan menjadi masalah krusial yang harus segera diatasi. Di banyak daerah pedesaan dan wilayah tertinggal, fasilitas pendidikan masih jauh dari memadai, guru berkualitas sulit ditemukan, dan teknologi pembelajaran belum merata. Kondisi ini memperparah kesenjangan antara kelompok yang memiliki akses terhadap pendidikan berkualitas dengan mereka yang tidak. Tanpa solusi konkret, negara-negara Asia bisa kehilangan peluang emas untuk mencetak generasi muda yang siap bersaing di era ekonomi digital dan industri 4.0.
Oleh karena itu, investasi dalam pendidikan menjadi keharusan bagi negara-negara Asia yang ingin mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi mereka. Reformasi kurikulum, peningkatan kompetensi tenaga pendidik, serta perluasan akses terhadap pendidikan berbasis teknologi harus menjadi prioritas. Jika krisis pembelajaran ini tidak segera diatasi, maka bonus demografi yang dimiliki negara-negara Asia justru bisa menjadi bencana demografi, di mana jumlah angkatan kerja yang besar tidak diimbangi dengan keterampilan yang memadai. Sejalan dengan kutipan sebelumnya, hanya dengan sistem pendidikan yang kuat, negara-negara Asia dapat benar-benar mewujudkan potensi mereka sebagai pemimpin ekonomi global di masa depan.
Indonesia: Sistem Pendidikan yang Terjebak dalam Krisis
Kesenjangan Kualitas dan Rendahnya Literasi
Meski tingkat partisipasi sekolah di Indonesia hampir mencapai 100% hingga usia 12 tahun, realitas menunjukkan bahwa kualitas pendidikan masih tertinggal jauh dibandingkan dengan negara lain. Data terbaru dari tes PISA 2022 menempatkan Indonesia di peringkat ke-69 dari 81 negara, mencerminkan rendahnya kompetensi siswa dalam membaca, matematika, dan sains. Hasil ini menunjukkan bahwa meskipun banyak anak bersekolah, sistem pendidikan kita belum mampu menghasilkan lulusan dengan keterampilan berpikir kritis dan kemampuan literasi yang memadai.
Permasalahan ini semakin diperjelas oleh pernyataan Indra Charismiadji, seorang analis kebijakan pendidikan, yang menyoroti bahwa "Bank Dunia menyebut kita sebagai buta huruf fungsional. Generasi muda kita tidak bisa belajar karena mereka tidak memahami apa yang mereka baca." Pernyataan ini menggambarkan betapa krusialnya masalah literasi di Indonesia. Buta huruf fungsional berarti bahwa meskipun seseorang dapat membaca teks tertulis, mereka tidak dapat memahami atau mengolah informasi tersebut dengan baik. Ini berdampak besar pada pembelajaran di semua mata pelajaran, sebab tanpa kemampuan memahami teks, siswa kesulitan dalam menyerap ilmu pengetahuan baru dan mengembangkan pemikiran analitis.
Rendahnya tingkat literasi ini bukan hanya masalah akademik, tetapi juga berimplikasi pada masa depan tenaga kerja dan daya saing bangsa. Ketika mayoritas generasi muda tidak mampu memahami teks secara mendalam, maka produktivitas dan inovasi akan terhambat. Di era digital dan industri 4.0, kemampuan membaca kritis, menganalisis informasi, serta menyelesaikan masalah menjadi keterampilan yang sangat dibutuhkan. Tanpa peningkatan kualitas pendidikan, Indonesia akan semakin tertinggal dalam persaingan global.
Selain itu, kesenjangan kualitas pendidikan di Indonesia semakin diperparah oleh perbedaan akses antara daerah perkotaan dan pedesaan. Banyak sekolah di daerah terpencil kekurangan tenaga pengajar berkualitas, buku, serta fasilitas belajar yang memadai. Sementara di kota-kota besar, sekolah swasta unggulan menawarkan pendidikan dengan standar yang jauh lebih baik, menciptakan jurang kesenjangan yang semakin dalam. Ketimpangan ini harus segera diatasi agar semua anak Indonesia, tanpa memandang latar belakang sosial dan geografisnya, mendapatkan hak pendidikan yang setara dan berkualitas.
Untuk keluar dari krisis ini, pemerintah perlu menempatkan peningkatan kualitas pendidikan sebagai prioritas utama. Reformasi kurikulum yang menekankan pada pemahaman mendalam, pelatihan guru yang lebih baik, serta pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran harus diperkuat. Jika tidak ada perbaikan signifikan, maka generasi mendatang akan terus terjebak dalam siklus rendahnya literasi yang menghambat perkembangan individu maupun kemajuan bangsa secara keseluruhan. Seperti yang ditegaskan dalam kutipan sebelumnya, tanpa pemahaman yang kuat terhadap bacaan, generasi muda tidak akan mampu belajar dan berkembang secara optimal.
Kualitas Guru di Bawah Standar
Kualitas tenaga pendidik merupakan faktor utama dalam menentukan efektivitas sistem pendidikan, namun Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam aspek ini. Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada tahun 2015 menunjukkan bahwa lebih dari 80% dari 1,6 juta guru di Indonesia tidak memenuhi standar kompetensi minimal. Hal ini mengindikasikan bahwa mayoritas tenaga pengajar belum memiliki keterampilan pedagogis dan akademik yang memadai untuk memberikan pendidikan berkualitas kepada siswa. Rendahnya kompetensi guru ini berdampak langsung pada rendahnya kualitas pembelajaran di kelas, yang akhirnya mempengaruhi hasil belajar siswa secara keseluruhan.
Salah satu contoh nyata dari rendahnya kualitas tenaga pendidik adalah kondisi guru bahasa Inggris di Jakarta. Sebuah survei yang dilakukan oleh British Council pada tahun 2015 mengungkapkan bahwa 30% guru bahasa Inggris di Jakarta tidak dapat berbicara dalam bahasa tersebut dengan lancar. Jika di ibu kota saja, yang memiliki akses lebih baik terhadap pelatihan dan sumber daya pendidikan, masih ditemukan kelemahan seperti ini, maka kondisi di daerah-daerah lain kemungkinan lebih buruk. Guru yang kurang menguasai materi yang mereka ajarkan tentu tidak dapat mentransfer pengetahuan dengan efektif kepada siswa, sehingga menghasilkan lulusan yang juga memiliki kompetensi rendah dalam bidang tersebut.
Permasalahan ini menuntut adanya reformasi besar-besaran dalam sistem rekrutmen, pelatihan, dan evaluasi guru. Pemerintah perlu memperketat standar sertifikasi guru, meningkatkan pelatihan berbasis praktik, serta memberikan dukungan yang lebih besar bagi tenaga pendidik untuk terus mengembangkan kompetensinya. Selain itu, evaluasi berkala terhadap kualitas mengajar juga harus dilakukan agar standar kompetensi guru dapat terus ditingkatkan. Jika tidak ada langkah konkret untuk memperbaiki kualitas guru, maka kesenjangan pendidikan di Indonesia akan semakin melebar, dan tantangan dalam meningkatkan daya saing sumber daya manusia akan semakin sulit diatasi.
Upah Rendah, Motivasi Menurun
Salah satu faktor utama yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah kesejahteraan guru yang masih jauh dari ideal. Berdasarkan data Kementerian Keuangan (2023), gaji guru di Indonesia berkisar antara Rp2,9 juta hingga Rp5,5 juta per bulan, jumlah yang hampir setara dengan upah pekerja di sektor layanan pelanggan atau call center. Dengan beban kerja yang tinggi, tanggung jawab mendidik generasi masa depan, serta tuntutan profesionalisme yang besar, gaji ini jelas tidak mencerminkan pentingnya peran guru dalam pembangunan nasional. Akibatnya, profesi guru kurang menarik bagi individu-individu berkualitas, dan banyak yang akhirnya memilih pekerjaan lain dengan penghasilan lebih tinggi.
Rendahnya insentif finansial bagi guru juga berdampak langsung pada motivasi mereka dalam mengajar. Banyak guru harus mencari pekerjaan sampingan untuk mencukupi kebutuhan hidup, yang pada akhirnya mengurangi fokus mereka dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas. Selain itu, minimnya tunjangan dan fasilitas pendukung membuat tenaga pendidik sulit mengembangkan keterampilan mereka secara optimal. Hal ini selaras dengan pernyataan Indra Charismiadji, seorang analis kebijakan pendidikan, yang menyoroti betapa kacaunya sistem perencanaan pendidikan di Indonesia: "Kita punya 50 juta siswa, 250 ribu sekolah, 17 ribu pulau, tapi tanpa perencanaan sama sekali." Kutipan ini menegaskan bahwa kebijakan pendidikan di Indonesia masih belum memiliki strategi jangka panjang yang matang untuk meningkatkan kualitas tenaga pendidik maupun sistem pendidikan secara keseluruhan.
Salah satu penyebab utama dari lemahnya perhatian terhadap kesejahteraan guru adalah kecenderungan kebijakan politik yang lebih berpihak pada sektor pembangunan infrastruktur dan pertahanan dibandingkan pendidikan. Berdasarkan APBN 2024, anggaran pendidikan dialokasikan sebesar Rp665 triliun (20% dari total anggaran), tetapi distribusi dana ini masih kurang efektif dalam meningkatkan kesejahteraan guru. Di sisi lain, anggaran untuk pertahanan mencapai Rp140 triliun, dengan fokus pada modernisasi alat utama sistem senjata (alutsista) dan penguatan militer. Meskipun keamanan nasional penting, keberlanjutan pembangunan suatu negara sangat bergantung pada kualitas sumber daya manusia, yang seharusnya menjadi prioritas utama dalam kebijakan nasional.
Dampak dari prioritas politik yang kurang berpihak pada pendidikan dapat terlihat dari tidak meratanya distribusi guru berkualitas di seluruh wilayah Indonesia. Guru di daerah terpencil sering kali menerima insentif yang lebih rendah dibandingkan rekan mereka di perkotaan, meskipun mereka menghadapi tantangan yang lebih besar seperti keterbatasan fasilitas, akses transportasi yang sulit, dan minimnya kesempatan untuk pelatihan profesional. Tanpa intervensi pemerintah yang lebih serius dalam hal penggajian dan peningkatan kesejahteraan guru, kesenjangan kualitas pendidikan antarwilayah akan semakin melebar, memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi dalam jangka panjang.
Untuk mengatasi krisis ini, diperlukan perubahan kebijakan yang lebih progresif dan berpihak pada tenaga pendidik. Pemerintah harus memperbaiki sistem penggajian guru agar lebih kompetitif dan layak, sehingga dapat menarik lebih banyak individu berkualitas untuk terjun ke dunia pendidikan. Selain itu, pengalokasian anggaran pendidikan harus lebih fokus pada peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan berkelanjutan dan tunjangan yang memadai, bukan sekadar pembangunan infrastruktur sekolah. Jika kebijakan ini tidak segera diperbaiki, Indonesia akan terus menghadapi masalah regenerasi tenaga pendidik yang berkualitas, yang pada akhirnya akan berdampak pada daya saing generasi muda di masa depan.
Merdeka Belajar: Solusi atau Hanya Wacana?
Pada tahun 2021, pemerintah Indonesia meluncurkan Kurikulum Merdeka sebagai bagian dari program Merdeka Belajar yang bertujuan memberikan fleksibilitas lebih bagi sekolah dan guru dalam mengelola pembelajaran. Kurikulum ini diperkenalkan sebagai solusi atas berbagai permasalahan pendidikan, seperti rendahnya hasil belajar siswa dalam tes internasional, minimnya kreativitas dalam pengajaran, serta ketimpangan kualitas pendidikan antarwilayah. Salah satu inovasi utama dalam program ini adalah aplikasi Merdeka Mengajar, yang dirancang untuk membantu guru dalam beradaptasi dengan kurikulum baru melalui pelatihan daring, bank soal, serta modul pembelajaran yang lebih fleksibel.
Menurut survei yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) terhadap 100 ribu guru, aplikasi ini diklaim telah meningkatkan keterlibatan guru dalam kelas serta rasa memiliki terhadap profesinya. Banyak guru merasa lebih percaya diri dalam merancang metode pembelajaran yang lebih kontekstual dan sesuai dengan kebutuhan siswa. Namun, meskipun program ini membawa perubahan positif dari segi motivasi dan partisipasi guru, dampaknya terhadap hasil akademik siswa masih terbatas. Data dari hasil asesmen nasional menunjukkan bahwa peningkatan literasi dan numerasi siswa masih berjalan lambat, dengan banyak siswa yang tetap mengalami kesulitan dalam memahami bacaan dan menyelesaikan soal matematika berbasis pemecahan masalah.
Kritik utama terhadap Kurikulum Merdeka adalah bahwa implementasinya masih tidak merata dan cenderung lebih mudah diterapkan di sekolah-sekolah unggulan dengan fasilitas lengkap. Di daerah dengan keterbatasan infrastruktur dan sumber daya, penerapan kurikulum ini menghadapi berbagai kendala, mulai dari minimnya akses internet untuk mengunduh materi di aplikasi Merdeka Mengajar, kurangnya pelatihan intensif bagi guru, hingga beban administrasi yang tetap tinggi. Selain itu, meskipun kurikulum ini mendorong pembelajaran berbasis proyek, banyak sekolah masih menggunakan metode lama yang berorientasi pada ujian, karena belum ada sistem evaluasi yang benar-benar mendukung pergeseran paradigma pembelajaran.
Lebih jauh, meskipun Kurikulum Merdeka berusaha mengurangi beban guru dengan menyediakan kebebasan dalam menyusun rencana belajar, realitanya banyak guru masih merasa kebingungan dalam mengadaptasi materi. Minimnya pendampingan langsung dan kesenjangan kompetensi antarpendidik menyebabkan penerapan kurikulum ini belum optimal. Di beberapa daerah, guru masih terpaku pada model pengajaran tradisional karena tidak terbiasa dengan pendekatan baru, sementara di daerah lain, inovasi pembelajaran berkembang pesat. Ketidakseimbangan ini menunjukkan bahwa tanpa strategi yang lebih menyeluruh, Kurikulum Merdeka berisiko memperlebar kesenjangan pendidikan antara sekolah yang memiliki sumber daya memadai dan yang tidak.
Pemerintah perlu mengevaluasi kembali efektivitas Kurikulum Merdeka dengan lebih berfokus pada peningkatan kualitas guru dan pemerataan fasilitas pendidikan. Jika kurikulum ini benar-benar ingin membawa perubahan, maka program pelatihan guru harus lebih masif dan disertai dengan mekanisme evaluasi yang lebih jelas terhadap perkembangan akademik siswa. Selain itu, harus ada kebijakan yang memastikan bahwa semua sekolah, termasuk yang berada di daerah terpencil, mendapatkan dukungan yang cukup untuk mengimplementasikan kurikulum ini secara optimal. Jika tidak, maka Merdeka Belajar hanya akan menjadi sekadar wacana tanpa dampak signifikan terhadap kualitas pendidikan nasional.
India: Ketimpangan Pendidikan dan Gagalnya Revolusi Edtech
Ketimpangan Kota dan Desa
Di India, akses pendidikan menunjukkan perbedaan mencolok antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Sekolah di kota-kota besar seperti Delhi, Mumbai, dan Bangalore memiliki fasilitas yang lebih lengkap, tenaga pengajar yang lebih berkualitas, serta akses yang lebih luas terhadap teknologi dan sumber belajar modern. Sebaliknya, di daerah pedesaan, banyak sekolah yang masih menghadapi keterbatasan infrastruktur, kekurangan guru berkualitas, serta minimnya akses terhadap teknologi pembelajaran. Menurut laporan UNESCO (2022), sekitar 35% anak di pedesaan India tidak dapat menyelesaikan pendidikan dasar, dibandingkan dengan hanya 5% di perkotaan. Kesenjangan ini semakin diperparah dengan faktor ekonomi, di mana anak-anak dari keluarga miskin di pedesaan lebih sering putus sekolah untuk membantu orang tua mereka bekerja.
Selain itu, pandemi COVID-19 semakin memperburuk ketimpangan pendidikan antara kota dan desa. Sekolah-sekolah di kota dengan cepat beradaptasi dengan pembelajaran daring, sementara di pedesaan, akses internet yang terbatas dan kurangnya perangkat elektronik membuat jutaan siswa tertinggal dalam pembelajaran. Studi dari Brookings Institution (2021) menunjukkan bahwa selama pandemi, lebih dari 60% siswa di pedesaan India tidak dapat mengakses pembelajaran daring, dibandingkan dengan hanya 20% di perkotaan. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa upaya konkret dari pemerintah dalam meningkatkan pemerataan pendidikan, kesenjangan ini akan semakin melebar, menghambat mobilitas sosial, dan memperpanjang siklus kemiskinan di daerah pedesaan.
Edtech Gagal Menjembatani Kesenjangan?
Pada awal 2000-an, teknologi pendidikan (edtech) digadang-gadang sebagai solusi untuk menjembatani kesenjangan akses pendidikan, terutama di negara-negara berkembang seperti India dan Indonesia. Dengan platform daring yang dapat diakses dari mana saja, edtech diharapkan mampu menghadirkan kualitas pendidikan yang setara bagi siswa di kota maupun di pedesaan. Beberapa perusahaan edtech, seperti BYJU’S di India dan Ruangguru di Indonesia, bahkan memperoleh investasi besar dan mengalami pertumbuhan pesat. Namun, dalam praktiknya, edtech belum mampu sepenuhnya menjawab tantangan ketimpangan pendidikan. Hambatan utama seperti keterbatasan akses internet, harga layanan yang mahal, serta rendahnya literasi digital di daerah pedesaan membuat manfaat edtech tidak merata di seluruh lapisan masyarakat.
Dalam lima tahun terakhir, industri edtech justru mengalami krisis besar. Lebih dari 2.000 perusahaan edtech telah gulung tikar, terutama akibat ketidakmampuan mereka mempertahankan model bisnis yang berkelanjutan serta rendahnya adopsi di daerah dengan keterbatasan infrastruktur. Di India, BYJU’S, yang sempat menjadi startup edtech terbesar di dunia, mengalami krisis keuangan serius dan kehilangan valuasi lebih dari $20 miliar pada 2023 akibat tingginya tingkat pembatalan langganan dan utang yang membengkak. Hal serupa terjadi di Indonesia, di mana banyak platform edtech yang tumbuh selama pandemi akhirnya kesulitan mempertahankan pengguna setelah sekolah kembali beroperasi secara tatap muka.
Selain faktor bisnis, kegagalan edtech juga disebabkan oleh ketimpangan infrastruktur digital. Menurut laporan Bank Dunia (2022), hanya 37% sekolah di daerah pedesaan India yang memiliki akses internet yang layak untuk mendukung pembelajaran daring, sementara di Indonesia, angka ini bahkan lebih rendah, yaitu sekitar 30%. Tanpa infrastruktur yang memadai, penggunaan edtech di daerah tertinggal menjadi tidak efektif. Banyak siswa di pedesaan masih mengandalkan buku cetak dan metode pengajaran tradisional karena keterbatasan perangkat elektronik dan konektivitas yang buruk.
Lebih jauh, kualitas konten edtech juga menjadi sorotan. Banyak platform edtech hanya menawarkan materi dalam format video pasif tanpa interaksi yang cukup, sehingga kurang efektif dalam meningkatkan pemahaman siswa. Studi dari Harvard Business Review (2023) menunjukkan bahwa hanya 18% siswa yang menggunakan edtech secara rutin menunjukkan peningkatan signifikan dalam keterampilan literasi dan numerasi, sementara mayoritas lainnya tetap mengalami kesulitan akademik yang sama seperti sebelum menggunakan edtech. Ini menunjukkan bahwa tanpa kombinasi strategi pengajaran yang lebih interaktif dan dukungan langsung dari guru, edtech tidak bisa menjadi solusi tunggal untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Ke depan, jika edtech ingin benar-benar menjadi alat pemerataan pendidikan, maka perlu ada intervensi lebih besar dari pemerintah untuk memastikan akses yang lebih merata. Subsidi internet untuk sekolah pedesaan, distribusi perangkat digital secara gratis, serta pelatihan intensif bagi guru dalam memanfaatkan teknologi pendidikan bisa menjadi langkah konkret yang lebih berdampak. Tanpa pendekatan yang lebih inklusif, edtech akan tetap menjadi layanan yang hanya bisa diakses oleh mereka yang sudah memiliki keunggulan, sementara siswa di daerah tertinggal terus berada dalam lingkaran ketimpangan pendidikan.
Harapan Baru: Integrasi Teknologi di Kelas
Di tengah berbagai tantangan dalam dunia pendidikan, integrasi teknologi di ruang kelas menjadi harapan baru dalam meningkatkan efektivitas pembelajaran. Lead Group, salah satu perusahaan edtech yang berfokus pada inovasi pendidikan, menawarkan pendekatan unik dengan menyediakan tablet bagi guru dan TV interaktif bagi siswa di lebih dari 8.000 sekolah. Langkah ini bertujuan untuk menciptakan pengalaman belajar yang lebih personal dan berbasis data, memungkinkan siswa untuk belajar sesuai dengan tingkat pemahamannya, bukan sekadar mengikuti kurikulum berbasis usia.
Pendekatan ini didasarkan pada gagasan bahwa metode mengajar jauh lebih penting daripada sekadar materi yang diajarkan. "Cara mengajar siswa lebih penting daripada apa yang diajarkan" ujar Loluck Baby, direktur senior Lead Group. Dengan teknologi ini, guru dapat mengidentifikasi kelemahan siswa secara lebih akurat dan menyesuaikan strategi pembelajaran agar lebih efektif. Data dari Lead Group menunjukkan bahwa pada 2023, kesenjangan pembelajaran siswa kelas 1–8 di sekolah mitra berhasil dikurangi dari 3 tahun menjadi 1,24 tahun. Ini menunjukkan bahwa pemanfaatan teknologi yang tepat dapat mempercepat pemahaman siswa dan mengurangi ketertinggalan akademik secara signifikan.
Selain meningkatkan hasil pembelajaran, model ini juga membantu meningkatkan keterlibatan guru dalam proses mengajar. Dengan adanya tablet, guru memiliki akses ke analisis data real-time mengenai perkembangan siswa, sehingga mereka dapat segera menyesuaikan metode pengajaran. Studi dari McKinsey & Company (2023) menunjukkan bahwa guru yang menggunakan teknologi adaptif dalam mengajar 35% lebih mungkin untuk memberikan umpan balik yang efektif kepada siswa, dibandingkan dengan mereka yang mengandalkan metode tradisional. Ini mengindikasikan bahwa dengan alat yang tepat, guru tidak hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga sebagai fasilitator pembelajaran yang lebih responsif terhadap kebutuhan siswa.
Namun, meskipun hasilnya menjanjikan, keberhasilan pendekatan ini masih tergantung pada ketersediaan infrastruktur dan dukungan kebijakan pendidikan yang berkelanjutan. Banyak sekolah di daerah terpencil masih menghadapi kendala listrik dan akses internet, yang menghambat implementasi solusi berbasis teknologi. Oleh karena itu, perlu ada upaya bersama antara pemerintah, sektor swasta, dan lembaga pendidikan untuk memastikan bahwa integrasi teknologi tidak hanya diterapkan di sekolah-sekolah elit, tetapi juga di daerah yang paling membutuhkan peningkatan kualitas pendidikan. Jika diterapkan secara luas dan merata, pendekatan berbasis teknologi ini berpotensi menjadi salah satu solusi nyata dalam mengatasi tantangan kesenjangan pendidikan di berbagai negara.
China: Revolusi AI dalam Pendidikan
China telah lama menjadi pionir dalam pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan populasi siswa mencapai lebih dari 200 juta, pemerintah China gencar mengembangkan teknologi pendidikan berbasis AI untuk mengatasi tantangan seperti kekurangan guru berkualitas, kesenjangan pendidikan antara kota dan desa, serta tingkat drop-out yang tinggi di pedesaan. AI digunakan dalam berbagai aspek, mulai dari penilaian otomatis, tutor virtual, hingga sistem pembelajaran adaptif yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing siswa. Namun, di balik kemajuan ini, masih terdapat masalah sistemik yang mencerminkan ketimpangan dalam akses dan kualitas pendidikan, terutama di wilayah pedesaan.
Dropout Tak Terlihat di Pedesaan
Salah satu isu terbesar di China adalah fenomena "dropout tak terlihat", di mana banyak siswa di pedesaan berhenti sekolah tetapi tetap terdaftar dalam sistem untuk memenuhi kebijakan pendidikan wajib 9 tahun. Fenomena ini mencerminkan kesenjangan pendidikan yang masih besar antara kota dan desa, di mana faktor ekonomi, kurangnya tenaga pengajar, serta tekanan sosial membuat banyak anak pedesaan meninggalkan pendidikan formal.
"Ketika saya membaca dokumen pemerintah tujuh tahun lalu, mereka menyebut dropout ini terjadi karena alasan pribadi, bukan karena sistem pendidikan," ujar Wan Yi, peneliti dari Beijing Normal University. Pernyataan ini menunjukkan bagaimana pemerintah cenderung mengabaikan faktor sistemik dalam masalah putus sekolah, dengan lebih menyoroti alasan individu seperti masalah keluarga atau kurangnya motivasi siswa. Data dari National Bureau of Statistics of China (2023) mengungkapkan bahwa meskipun tingkat partisipasi sekolah dasar dan menengah mencapai 99% di atas kertas, di daerah pedesaan, sekitar 15% siswa sebenarnya sudah berhenti mengikuti pembelajaran secara aktif, tetapi masih tercatat dalam sistem sebagai siswa aktif.
Fenomena ini semakin diperparah dengan kebijakan hukuman bagi sekolah yang memiliki tingkat putus sekolah tinggi. Agar tidak kehilangan dana dan insentif dari pemerintah, banyak sekolah di daerah terpencil memalsukan angka kehadiran atau menekan siswa untuk tetap terdaftar, meskipun mereka tidak benar-benar belajar. Sebuah laporan dari South China Morning Post (2023) menyebutkan bahwa di beberapa provinsi seperti Guizhou dan Yunnan, sekolah-sekolah bahkan melaporkan angka kehadiran mendekati 100%, meskipun banyak kelas yang sebenarnya kosong.
Peran AI: Solusi atau Sekadar Ilusi?
China telah berinvestasi besar dalam teknologi AI untuk mengurangi kesenjangan pendidikan, termasuk penggunaan pembelajaran berbasis AI yang dapat menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan siswa. Misalnya, perusahaan seperti Squirrel AI dan TAL Education telah mengembangkan sistem pembelajaran adaptif yang dapat membantu siswa di daerah terpencil mendapatkan akses ke pengajaran berkualitas tinggi, bahkan tanpa kehadiran guru. Namun, efektivitasnya masih menjadi perdebatan. Studi dari Peking University (2023) menemukan bahwa meskipun teknologi AI meningkatkan keterlibatan siswa perkotaan hingga 27%, dampaknya di daerah pedesaan hanya sekitar 12%. Hal ini disebabkan oleh kurangnya infrastruktur digital, koneksi internet yang buruk, serta minimnya keterampilan digital di kalangan guru dan siswa di pedesaan.
Ke depan, meskipun AI memiliki potensi besar untuk merevolusi pendidikan, China masih perlu mengatasi masalah struktural yang lebih mendasar. Tanpa kebijakan yang lebih inklusif, peningkatan infrastruktur pendidikan di desa, serta pelatihan guru dalam penggunaan teknologi, revolusi AI dalam pendidikan bisa jadi hanya akan memperbesar kesenjangan antara kota dan desa, alih-alih mengatasinya.
AI di Ruang Kelas: Antara Efisiensi dan Tantangan
Sejak 2018, teknologi kecerdasan buatan (AI) telah diterapkan di lebih dari 25% sekolah di China untuk membantu menilai esai, mengevaluasi hasil belajar siswa, serta memberikan umpan balik yang lebih cepat kepada guru. Sistem AI ini memungkinkan analisis mendalam terhadap pola jawaban siswa, tingkat pemahaman, dan kemajuan akademik, sehingga guru dapat menyesuaikan pendekatan pengajaran mereka berdasarkan kebutuhan individu siswa.
"Dibandingkan metode pengajaran tradisional, teknologi baru ini memberi saya umpan balik secara real-time," ujar Wang Shanling, seorang guru Bahasa Inggris di Beijing Yuying Middle School. Dengan AI, guru seperti Wang dapat mengetahui kelemahan dan kekuatan siswa dalam hitungan detik, memungkinkan intervensi pembelajaran yang lebih cepat dan akurat. Data dari Ministry of Education of China (2023) menunjukkan bahwa sekolah yang menggunakan AI dalam evaluasi esai mengalami peningkatan efisiensi penilaian hingga 40%, dibandingkan dengan metode manual.
Namun, meskipun AI terbukti efektif dalam meningkatkan efisiensi pembelajaran, para pendidik menegaskan bahwa teknologi ini tidak dapat menggantikan aspek emosional dan sosial dalam pendidikan. Interaksi langsung antara guru dan siswa tetap menjadi kunci utama dalam proses belajar-mengajar.
"AI hanyalah alat tambahan. Saya tidak akan menggantikannya dengan metode pengajaran yang sebenarnya," tegas Kong Lingdong, guru fisika di China. Pernyataannya mencerminkan kekhawatiran bahwa terlalu mengandalkan teknologi dalam pendidikan dapat mengurangi interaksi manusiawi antara guru dan siswa, yang sangat penting dalam menumbuhkan keterampilan berpikir kritis, kreativitas, dan kecerdasan emosional.
Selain itu, penerapan AI dalam pendidikan juga menghadapi tantangan, seperti kesenjangan akses antara sekolah di perkotaan dan pedesaan, kekhawatiran terhadap keamanan data siswa, serta kurangnya regulasi yang jelas mengenai batasan penggunaan AI dalam proses pembelajaran. Sebuah studi dari Tsinghua University (2023) menemukan bahwa meskipun AI dapat meningkatkan skor akademik, siswa yang terlalu bergantung pada teknologi justru mengalami penurunan dalam keterampilan komunikasi dan pemecahan masalah.
Ke depan, tantangan utama bagi sistem pendidikan di China bukan sekadar mengadopsi teknologi terbaru, tetapi juga menjaga keseimbangan antara pemanfaatan AI dan pendekatan pedagogi yang tetap berpusat pada manusia. Tanpa strategi yang matang, AI dalam ruang kelas bisa berubah dari alat revolusioner menjadi hambatan baru dalam pendidikan.
Menuju Masa Depan Pendidikan yang Lebih Baik
Dunia terus berubah dengan cepat, dan sistem pendidikan di berbagai negara harus mampu beradaptasi agar tidak tertinggal. Indonesia, India, dan China sebagai negara dengan populasi terbesar di Asia menghadapi tantangan unik dalam membangun pendidikan yang berkualitas. Jika tidak ada perbaikan yang signifikan, generasi mendatang berisiko kehilangan kesempatan untuk bersaing di era globalisasi. Kini saatnya mengambil langkah nyata untuk memastikan bahwa pendidikan benar-benar menjadi alat yang mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat dan membangun masa depan yang lebih baik.
Di Indonesia, masalah utama terletak pada rendahnya kualitas guru dan kurangnya perencanaan strategis dalam reformasi pendidikan. Meskipun berbagai kebijakan seperti Merdeka Belajar telah diperkenalkan, implementasinya masih jauh dari optimal. Tanpa pelatihan guru yang komprehensif, sistem pendidikan akan terus menghasilkan lulusan yang kurang siap menghadapi dunia kerja. Pemerintah perlu meningkatkan kesejahteraan guru, memperketat standar rekrutmen, serta memastikan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan industri modern.
Di India, ledakan teknologi pendidikan (edtech) pernah dianggap sebagai solusi untuk meningkatkan akses dan kualitas pembelajaran. Namun, realitasnya menunjukkan bahwa banyak startup edtech hanya berfokus pada keuntungan komersial, bukan pada efektivitas pendidikan. Jika edtech ingin menjadi solusi nyata, integrasi teknologi dalam kurikulum harus lebih dari sekadar alat bantu belajar—harus ada sinergi antara inovasi digital dan metode pengajaran yang benar-benar berdampak.
Sementara itu, China telah memimpin dalam penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam ruang kelas, namun masih menghadapi tantangan dalam mempertahankan keseimbangan antara teknologi dan interaksi manusiawi. AI dapat meningkatkan efisiensi pembelajaran, tetapi tidak boleh menggantikan peran guru dalam membangun karakter dan kreativitas siswa. Jika tidak dikelola dengan bijak, teknologi ini justru dapat menciptakan generasi yang bergantung pada sistem otomatis tanpa kemampuan berpikir kritis.
Ketiga negara ini memiliki peluang besar untuk membawa revolusi dalam pendidikan, tetapi hanya jika kebijakan yang diterapkan benar-benar berorientasi pada kepentingan siswa, bukan sekadar pencitraan politik atau keuntungan bisnis. Dengan pendekatan yang tepat—melalui investasi dalam pelatihan guru, regulasi yang jelas dalam penggunaan teknologi, serta perencanaan pendidikan yang berkelanjutan—maka masa depan pendidikan yang lebih baik bukan hanya sekadar harapan, tetapi sebuah kenyataan yang dapat dicapai.

Aristo Bharata
Founder tamanpustaka.com & guru di UPTD SPF SDN Sekarputih 1 Kecamatan Tegalampel Bondowoso