AGAMA ISLAM KELAS 10
Al-Qur'an Dan Hadis Adalah Pedoman Hidupku Bagian 2
29 - Januari - 2022 916 Share :Sumber hukum Islam merupakan suatu rujukan, landasan, atau dasar yang utama dalam pengambilan hukum Islam.

Sumber hukum Islam merupakan suatu rujukan, landasan, atau dasar yang utama dalam pengambilan hukum Islam.
Daftar Isi :
Macam-Macam Hadis
( رواه البخاري )
Artinya: “Dari Abi Hurairah ra. Rasulullah saw. bersabda: “Dilarang seseorang, mengumpulkan (mengawini secara bersama) seorang perempuan dengan saudara dari ayahnya serta seorang perempuan dengan saudara perempuan dari ibunya.” (H.R. Bukhari)
Ditinjau dari segi perawinya, hadis terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu seperti berikut.
a. Hadis Mutawattir
Hadis mutawattir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak perawi, baik dari kalangan para sahabat maupun generasi sesudahnya dan dipastikan di antara mereka tidak bersepakat dusta. Contohnya adalah hadis yang berbunyi:
عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسله منبع تعدافلیتبوامقعده من التيار ( رواه البخاري ومسلم )
Artinya: "Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempatnya adalah neraka." (H.R. Bukhari, Muslim)
b. Hadis Masyhur
Hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang sahabat atau lebih yang tidak mencapai derajat mutawattir, namun setelah itu tersebar dan diriwayatkan oleh sekian banyak tabi”n sehingga tidak mungkin bersepakat dusta. Contoh hadis jenis ini adalah hadis yang artinya, "Orang Islam adalah orang-orang yang tidak mengganggu orang lain dengan lidah dan tangannya.” (H.R. Bukhari, Muslim dan Tirmizi)
c. Hadis Añad
Hadis aḥad adalah hadis yang hanya diriwayatkan oleh satu atau dua orang perawi, sehingga tidak mencapai derajat mutawattir. Dilihat dari segi kualitas orang yang meriwayatkannya (perawi), hadis dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu sebagai berikut.
- Hadis śaḥiḥ adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kuat hafalannya, tajam penelitiannya, sanadnya bersambung kepada Rasulullah saw., tidak tercela, dan tidak bertentangan dengan riwayat orang yang lebih terpercaya. Hadis ini dijadikan sebagai sumber hukum dalam beribadah (hujjah).
- Hadis Hasan, adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tetapi kurang kuat hafalannya, sanadnya bersambung, tidak cacat, dan tidak bertentangan. Sama seperti hadis śaḥiḥ, hadis ini dijadikan sebagai landasan mengerjakan amal ibadah.
- Hadis da’īf, yaitu hadis yang tidak memenuhi kualitas hadis śaḥīḥ dan hadis Hasan. Para ulama mengatakan bahwa hadis ini tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, tetapi dapat dijadikan sebagai motivasi dalam beribadah.
- Hadis Maudu', yaitu hadis yang bukan bersumber kepada Rasulullah saw. atau hadis palsu. Dikatakan hadis padahal sama sekali bukan hadis. Hadis ini jelas tidak dapat dijadikan landasan hukum, hadis ini tertolak.
Ijtihād sebagai upaya memahami al-Qur'ān dan Hadis
1. Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad berasal bahasa Arab ijtahada-yajtahidu-ijtihādan yang berarti mengerahkan segala kemampuan, bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga, atau bekerja secara optimal. Secara istilah, ijtihād adalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara sungguh-sungguh dalam menetapkan suatu hukum. Orang yang melakukan ijtihād dinamakan mujtahid.
2. Syarat-Syarat berijtihād
Karena ijtihād sangat bergantung pada kecakapan dan keahlian para mujtahid, dimungkinkan hasil ijtihād antara satu ulama dengan ulama lainnya berbeda hukum yang dihasilkannya. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat melakukan ijtihād dan menghasilkan hukum yang tepat. Berikut beberapa syarat yang harus dimiliki seseorang untuk melakukan ijtihād.
- Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam.
- Memiliki pemahaman mendalam tentang bahasa Arab, ilmu tafsir, usul fikih, dan tarikh (sejarah).
- Memahami cara merumuskan hukum (istinbat).
- Memiliki keluhuran akhlak mulia.
3. Kedudukan Ijtihād
Ijtihād memiliki kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah alQur'ān dan hadis. Ijtihād dilakukan jika suatu persoalan tidak ditemukan hukumnya dalam al-Qur'ān dan hadis. Namun demikian, hukum yang dihasilkan dari ijtihād tidak boleh bertentangan dengan al-Qur'an maupun hadis. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.:
عن معاني : ان البي صلی الله عليه وتم كتابتهالى اليمن قال : ایان عترض لك قضاء كيف تقضي قال اقضي بكتاب الله قال مما لم يكن في كتاب الله قال يا رسول الل صلی الله عليه وسلم قال ان لم يكن في شۃ رسول الله قال آجتهد أين ولا الوقال قرب صدره قال الحمدلله الذي وفق رؤل رسول الله لايرضى رسول الله ( رواه الدارمي )
Artinya: "Dari Mu'az, bahwasanya Nabi Muhammad saw. ketika mengutusnya ke Yaman, ia bersabda, “Bagaimana engkau akan memutuskan suatu perkara yang dibawa orang kepadamu?” Muaz berkata, "Saya akan memutuskan menurut Kitabullah (al-Qur'ān).” Lalu Nabi berkata, “Dan jika di dalam Kitabullah engkau tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?” Muaz menjawab, "Jika begitu saya akan memutuskan menurut Sunnah Rasulullah saw." Kemudian, Nabi bertanya lagi, “Dan jika engkau tidak menemukan sesuatu hal itu di dalam sunnah?” Muaz menjawab, "Saya akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (ijtihādu bi ra’yi) tanpa bimbang sedikitpun." Kemudian, Nabi bersabda, "Maha suci Allah Swt. yang memberikan bimbingan kepada utusan Rasul-Nya dengan suatu sikap yang disetujui Rasul-Nya.” (H.R. Darami)
Rasulullah saw. juga mengatakan bahwa seseorang yang berijtihād sesuai dengan kemampuan dan ilmunya, kemudian ijtihādnya itu benar, maka ia mendapatkan dua pahala, Jika kemudian ijtihādnya itu salah maka ia mendapatkan satu pahala.
Hal tersebut ditegaskan melalui sebuah hadis:
عن عمروبن العاص ا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إداگالای فاخته اصاب فله ران واداحگم اجتهد ثم اخطأ فله اجر ( روا البخاري ومسلم )
Artinya: “Dari Amr bin Aś, sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda, “Apabila seorang hakim berijtihād dalam memutuskan suatu persoalan, ternyata ijtihādnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala, dan apabila dia berijtihād, kemudian ijtihādnya salah, maka ia mendapat satu pahala." (H.R. Bukhari dan Muslim)
4. Bentuk-Bentuk Ijtihād
Ijtihād sebagai sebuah metode atau cara dalam menghasilkan sebuah hukum terbagi ke dalam beberapa bagian, yaitu sebagai berikut.
a. Ijma'
Ijma' adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihād dalam memutuskan suatu perkara atau hukum. Contoh ijma' di masa sahabat adalah kesepakatan untuk menghimpun wahyu Ilahi yang berbentuk lembaranlembaran terpisah menjadi sebuah mushaf al-Qur'an yang seperti kita saksikan sekarang ini.
b. Qiyas
Qiyas adalah mempersamakan/menganalogikan masalah baru yang tidak terdapat dalam al-Qur'ān atau hadis dengan yang sudah terdapat hukumnya dalam al-Qur'ān dan hadis karena kesamaan sifat atau karakternya. Contoh qiyas adalah mengharamkan hukum minuman keras selain khamr seperti brendy, wisky, topi miring, vodka, dan narkoba karena memiliki kesamaan sifat dan karakter dengan khamr, yaitu memabukkan. Khamr dalam al-Qur'ān diharamkan, sebagaimana firman Allah Swt:
ايها الذين امنوااما الخمر والميژوالأنصاب والأزلام رجس من عمل الشيطن فاجتنبوه
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung." (Q.S. al-Maidah/5:90) /
c. Maślanah Mursalah
Maślaḥah mursalah artinya penetapan hukum yang menitikberatkan pada kemanfaatan suatu perbuatan dan tujuan hakiki-universal terhadap syari'at Islam. Misalkan, seseorang wajib mengganti atau membayar kerugaian atas kerugian kepada pemilik barang karena kerusakan di luar kesepakatan yang telah ditetapkan.
Pembagian Hukum Islam
لعلكم تفلحون
Para ulama membagi hukum Islam ke dalam dua bagian, yaitu hukum taklifi dan hukum wad'i. Hukum taklifi adalah tuntunan Allah Swt. yang berkaitan dengan perintah dan larangan. Hukum wad'i adalah perintah Allah Swt. yang merupakan sebab, syarat, atau penghalang bagi adanya sesuatu.
Hukum Taklifi
Hukum taklifi terbagi ke dalam lima bagian, yaitu sebagai berikut.
- Wajib (farņu), yaitu aturan Allah Swt. yang harus dikerjakan, dengan konsekuensi bahwa jika dikerjakan akan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan akan berakibat dosa. Pahala adalah sesuatu yang akan membawa seseorang kepada kenikmatan (surga), sedangkan dosa adalah sesuatu yang akan membawa seseorang ke dalam kesengsaraan (neraka). Misalnya, perintah wajib salat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya.
- Sunnah (mandub), yaitu tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan dengan konsekuensi jika dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan karena berat untuk melakukannya tidaklah berdosa. Misalnya ibadah salat rawatib, puasa Senin-Kamis, dan sebagainya.
- Haram (taḥrim), yaitu larangan untuk mengerjakan suatu pekerjaan atau perbuatan. Konsekuesinya adalah jika larangan tersebut dilakukan akan mendapatkan pahala, dan jika tetap dilakukan akan mendapatkan dosa dan hukuman. Akibat yang ditimbulkan dari mengerjakan larangan Allah Swt. ini dapat langsung mendapat hukuman di dunia, ada pula yang dibalasnya di akhirat kelak. Misalnya larangan meminum minuman keras/narkoba/khamr, sebagainya.
- Makruh (Karahah), yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan. Makruh artinya sesuatu yang dibenci atau tidak disukai. Konsekuensi hukum ini adalah jika dikerjakan tidaklah berdosa, akan tetapi jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala.
- Mubah (al-Ibahaḥ), yaitu sesuatu yang boleh untuk dikerjakan dan boleh untuk ditinggalkan. Tidaklah berdosa dan berpahala jika dikerjakan ataupun ditinggalkan.
Sumber
)*Dikutip dari berbagai Sumber

Andi Tedy
Content Editor